Minggu, 10 April 2011

Qadzaf

I. PENDAHULUAN

Persoalan menuduh seseorang sebagai pemerkosa atau penzina adalah kesalahan yang serius dalam Islam. Malahan Islam membuat kehormatan pada salah satu dari lima kebutuhan dasar yang mesti dijaga dalam Islam. Manakala sesuatu tuduhan zina pada seseorang tanpa barang bukti adalah salah satu dari tujuh dosa besar. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat an-nur ayat 23;

¨bÎ) tûïÏ%©!$# šcqãBötƒ ÏM»uZ|ÁósãKø9$# ÏM»n=Ïÿ»tóø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# (#qãZÏèä9 Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur öNçlm;ur ë>#xtã ×LìÏàtã ÇËÌÈ

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”.

Berkaitan dengan perbuatan ini, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim juga agar kaum muslimin sangat berhati-hati dalam melemparkan tuduhan keji atau tuduhan zina. Sehingga hukum hududpun seharusnya ditinggalkan tanpa adanya bukti dan saksi yang sahih.

إدرؤ الحدود بالشبهات

Artinya : “Tinggalkan hudud karena perkara-perkara yang syubhat atau yang masih samar-samar”.

II. RUMUSAN MASALAH

a. Pengertian Qadzaf

b. Unsur-unsur Qadzaf

c. Pembuktian untuk Jarimah Qadzaf

d. Hukuman untuk Jarimah Qadzaf

e. Hal-hal menggugurkan Hukuman

III. PEMBAHASAN

A. Pengertian Qadzaf

Qadzaf dalam arti bahsa adalah الر مي بالحجارة ونحوها artinya melempar dengan batu dan lainnya.

Qadzaf dalam istilah syara’ ada dua macam yaitu:

1. Qadzaf yang diancam dengan hukuman had, dan

2. Qadzaf yang diancam hukuaman ta’zir.

Pengertian qadzaf yang diancm dengan hukuman had adalah:

رمي المحصن با لزنا أونفي نسبه

Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang menghilangkan nasabnya.

Sedangkan arti qadzaf yang diancam dengan hukuman ta’zir adalah:

الرمى بغير الزنا أونفي النسب سواء كان من رمى محصنا أوغير محصن

Menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan.

Dari definisi qadzaf ini, Abdur Rahman Al-Jaziri mengatakan sebagai berikut:

القذ ف عبارة أن يتهم شحص أخر بالزنا صريحا أودلا لة

Qadzaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada orang lain dengan tuduhan zian, baik dengan menggunakan lafaz yang sharih (tegas) atau secara dilalah (tidak jelas)

Dasar Hukum larangan qadzaf

Al-qur’an

tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu ) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (Qs. An-Nuur: 4).[1]

B. Usur-unsur Qadzaf

Unsur-unsur qadzaf ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. Adanya tuduhan zina atau menghilangkan nasab

Unsur ini dapat terpenuhi apabila pelaku menuduh korban dengan tuduhan melakukan zina atau tuduhan yang menghilangkan nasabnya, dan ia (pelaku penuduh) tidak mampu membuktikan yang dituduhkannya.

Tuduhan zina kadang-kadang menghilangkan nasab korban dan kadang-kadang tidak. Kata-kata seperti ياابن الزنا “Hai anak zina”, menghilangkan nasab anaknya dan sekaligus menuduh ibunya berbuat zina. Sedangkan kata-kata seperti يازانى “Hai pezina” hanya menuduh zina saja dan tidak menghilangkan nasab atau keturunannya.

2. Orang yang dituduh harus orang muhshan

Dasar hukum tentang syarat ihsan untuk maqzuf (orang yang tertuduh) adalah:

a. Surat An-Nuur ayat 23

¨bÎ) tûïÏ%©!$# šcqãBötƒ ÏM»uZ|ÁósãKø9$# ÏM»n=Ïÿ»tóø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# (#qãZÏèä9 Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur öNçlm;ur ë>#xtã ×LìÏàtã ÇËÌÈ

Artinya: sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik- baik yang lengah, lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. (Qs. An-Nuur: 23)

3. Adanya niat melawan hukum

Unsur melawan hukum dalam jarimah qadzaf dapat terpenuhi apabila seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya, padahal ia tahu bahwa apa yang dituduhkannya tidak benar. Dan seseorang dianggap mengetahui ketidakbenaran tuduhan apabila ia tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhannya.

Ketentuan ini didasarkan kepada ucapan Rasulullah saw. Kepada Hilal ibn Umayyah ketia ia menuduh istrinya berzina dengan Syarik ibn Sahma’:

“Datanglah saksi, apabila tidak bisa mendatangkan saksi maka hukuman had akan dikenakan kepada kamu” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’ la)

Atas dasar inilah jumhur fuqaha berpendapat bahwa apabila saksi dalam jarimah zina kurang dari empat orang maka mereka dikenai hukuman had sebagai penuduh, walaupun menurut sebagian yang lain mereka tidak dikenai hukuman had, selama mereka betul-betul bertindak sebagai saksi.[2]

C. Pembuktian untuk Jarimah Qadzaf

1. Persaksian

Persaksian Jarimah Qadzaf dapat dibuktikan dengan persaksian dan persyaratan persaksian dalam masalah qadzaf sama dengan persyaratan persaksian dalam kasus zina. Bagi orang yang menuduh zina itu dapat mengambil beberapa kemungkinan, yaitu:

a. Memungkiri tuduhan itu dengan mengajukan persaksian cukup satu orang laki-laki atau perempuan.\

b. Membuktikan bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini cukup dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.

c. Membuktikan kebenaran tuduhan secara penuh dengan mangajukan empat orang saksi.

d. Bila yang dituduh itu istrinya dan ia menolak tuduhannya maka suami yang menuduh itu dapat mengajukan sumpah li’an.

2. pengakuan

Pengakuan Yakni si penuduh mengakui bahwa telah malakukan tuduhan zina kepada seseorang. Menurut sebagian ulama, kesaksian terhadap orang yang melakukan zina harus jelas, seperti masuknya ember ke dalam sumur (kadukhulid dalwi ilal bi’ri). Ini menunjukkan bahwa jarimah ini sebagai jarimah yang berat seberat derita yang akan ditimpahkan bagi tertuduh, seandainya tuduhan itu mengandung kebenaran yang martabat dan harga diri seserang. Para hakim dalam hal ini dituntut untuk ekstra hati-hati dalam menanganinya, baik terhadap penuduh maupun tertuduh. Kesalahan berindak dalam menanganinya akan berakibat sesuatu yang tak terbayangkan.

3. Sumpah

Dengan Sumpah Menurut Imam Syafi’i jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang menuduh (pelaku) untuk bersumapah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan untuk bersumpah maka jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keengganannya untuk sumpah tersebut. Demikian pula sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh (korban) bahwa penuduh benar malakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had qadzaf.

Akan tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan pembuktian dengan sumpah, sebagaimana yang di kemukakan oleh madzhab Syafi’i. sebagian ulama Hanafiyah pendapatnya sama dengan madzhab Syafi’i.[3]

D. Hukuman untuk jarimah qadzaf

Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut.

1. Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali, hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditetapkan oleh syara, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafii, orang yang dituduh berhak memberikan pengampunan, karena hak manusia lebih dominan dari pada hak Allah. Sedangkan menurut mazhab Hanafi bahwa korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena di dalam jarimah qadzaf hak Allah lebih dominan dari pada hak manusia.

2. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya

Kedua macam hukuman tersebut didasarkan kepada firman Allah dalam Surah An-Nuur ayat 4:[4]

tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ

E. Hal-hal yang menggugurkan hukuman

Had qadzaf bisa gugur bila si penuduh dapat mendatangkan empat orang saksi, karena dengan adanya para saksi itu berarti alternative negative yang mengharuskan had menjadi lenyap. Jika demikian, maka si tertuduh harus dihadd karena berzina. Demikian juga bila si tertuduh itu mengaku berzina atau mengaku atas kebenaran tuduhan penuduhnya.

Jika seorang istri menuduh zina suaminya, maka ia harus di- had bila syarat-syarat untuk menjatuhkan had itu sudah terpenuhi. Akan tetapi, jika suami menuduh zina kepada istrinya dan ia tidak dapat mendatangkan bukti-bukti, maka ia tidak dapat dijatuhi had, hanya saja ia harus bersumpah li’an, apabila si suami tidak dapat mendatangkan bukti-bukti dan juga tidak mau bersumpah li’an, maka ia pun harus dijatuhi had qadzaf.[5]

IV. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:

Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut.

1. Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali, hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditetapkan oleh syara, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafii, orang yang dituduh berhak memberikan pengampunan, karena hak manusia lebih dominan dari pada hak Allah. Sedangkan menurut mazhab Hanafi bahwa korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena di dalam jarimah qadzaf hak Allah lebih dominan dari pada hak manusia.

2. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya

Sedangkan pembuktiannya untuk jarimah qadzaf adalah dengan saksi, pengakuan, dan sumpah

V. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat penulis susun, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan penulis untuk memperbaiki makalah ini. Penulis juga minta maaf apabila ada penulisan atau ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

Imam Hasan al-Banna, Fiqih Sunnah Jilid 3, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007

http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/qadzaf/



[1] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 60-61

[2] Ibid, hlm. 62-65

[3] http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/qadzaf/

[4] Op. Cit, hlm. 69

[5] Imam Hasan al-Banna, Fiqih Sunnah Jilid 3, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007, hlm.351-352

Tidak ada komentar:

Posting Komentar