Minggu, 10 April 2011

sufisme dan fiqih

I. Pendaahuluan

Fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang bisa menjadi teropong keindahan dan kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari'ah yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lima aksioma, yakni; Agama, akal, jiwa, harta dan keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yang jelas, sehingga layak untuk exis sampai akhir zaman.[1]

Asal mula sufi adalah tradisi awal manusia yang berawal dari fajar itulah jejak sufisme tumbuh dan berkembang, lahirnya sama dengan diciptakannya manusia. Sejak manusia menyadari hubungannya dengan yang Maha mutlak, maka ia mencari kebenaran. Sebelum di utusnya Nabi Muhammad saw, para pendahulu kaum Sufi di sebut sebagai hunafa’ dan mereka sering di sebut-sebut dalam al-Qur’an.

II. Rumusan Masalah

a. Pengertian Sufisme/Tasawuf

b. Pendekatan dalam Sufisme/Tasawuf

c. Pengertian Fiqih

d. Pendekatan dalam Fiqih

III. Pembahasan

A. Pengertian sufisme/tasawuf

Tasawuf adalah mencari yang hakikat, dan putus asa terhadap apa yang ada di tangan makhluk. Barang siapa yang belum bersungguh-sungguh dengan kefakiran, maka berarti belum sungguh-sungguh dalam bertasawuf. Seorang sufi itu tidak terkotori (hatinya) oleh sesuatu, dan segala sesuatu menjadi jernih.

Seorang sufi ialah orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia dan memandang antara emas dan krikil. Dari sisi al-Mujahadah, tasawuf berkisar pada perhiasan diri dengan apa yang baik menurut lingkungan (al-ma’ruf), maupun menurut agama yang bersifat normatif (al-khair). Oleh sebab itu Abu Muhammad al-jariri mengartikan tasawuf dengan “masuk ke dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina”.

Dapat diungkapkan dengan sederhana bahwa tasawuf itu ialah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (Riyadh Mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepadanya. Oleh karena itu, maka al-Suhrawardi mengatakan bahwa semua tindakan (al-akhwal) yang mulia adalah tasawuf.

Maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) diatas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akherat.[2]

B. Pendekatan dalam sufisme/tasawuf

Istilah “pendekatan” secara morfologis berasal dari kata “dekat. Istilah tersebut secara leksikal berarti jarak, hampir, akrab. Secara etimologi berarti proses, perbuatan atau cara mendekati.[3]

Dalam perspektif terminologi, istilah pendekatan berarti paradigma yang terdapat dalam suatu disiplin ilmu tertentu yang selanjutnya dipergunakan untuk memahami suatu masalah tertentu.[4]

Pendekatan Irfani adalah yang biasanya digunakan oleh ahli tasawuf Islam yaitu pendekatan pemahaman yang bertumpu kepada pengalaman batiniyyah: Zauq, Wujdan atau intuisi. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui pendekatan ini memang tidak boleh dinafikan sama sekali, namun begitu, penggunaannya secara berlebihan juga akan menimbulkan masalah kepada masyarakat awam yang mungkin tidak memahaminya secara mendalam. Hal ini memang telah diterapkan sepenuhnya oleh Imam Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumuddin, di mana beliau menggangap bidang fiqih perlu dikaitkan dengan elemen sufisme bagi mendapatkan ruh dan intipati ketakutan kepada hari akhirat kepada pengamal undang-undang Islam khususnya dan masyarakat awam umumnya.

C. Pengertian fiqih

Secara etimologis kata “fiqih” berasal dari kata berbahasa arab: al-fiqh yang berarti pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu. Kata al-fiqh memiliki arti yang sama dengan kata al-fahm, yaitu sama-sama berarti memahami atau mengetahui, adapun secara terminologis fiqih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil terperinci.[5]

Kemudian yang mengaturnya adalah Nabi Saw, dan yang menyusun fiqih seperti susunan yang ada sekarang ini ialah Imam Abu Hanifah. Tempat berlakunya ilmu fiqih ialah pada perbuatan-perbuatan yang mungkin mengakibatkan hukum-hukum yang lima, dan hukum belajar fiqih adalah fardhu a’in (sekedar untuk mengetahui ibadah yang sah apa tidak) selain dari pada itu, hukum belajar fiqih dalah fardhu kifayah.

Tujuannya atau buah dari mengamalkan dan mengetahui ilmu fiqih adalah mendapat keridhoan Allah Saw. yang menjadi jalan kebahagian jalan dunia dan akhirat. Fiqih melebihi segala ilmu seperti sabda Rosulullah Saw:

من يردالله به خيرايفقهه في الدين

Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Nya, dijadikan-Nya orang itu ahli agama. (ahli fiqih).

Fiqih diambil dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dengan ini teranglah salah sangkaan orang yang mengatakan bahwa ilmu fiqih semata-mata pendapat manusia saja, karena sebenarnya fiqih itu diambil dari Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Qiyas pun harus berdasar atas Qur’an dan Hadits, sebagaimana diketahui oleh tiap-tiap orang yang mempelajari ilmu Ushul Fiqih, seperti contoh wudhu itu syarat dari shalat.[6]

D. Pendekatan dalam fiqih

Pendekatan Bayani yang menjadi asas utama kepada pemikiran fiqih Islam. Pola ini lebih menumpukan perhatian kepada teks Quran dan Sunnah yang dianggap sebagai sumber kebenaran mutlak. Akal dianggap lebih bersifat sekunder di dalam menjelas dan membela teks yang wujud. Kekuatan pendekatan ini lebih memberikan perhatian kepada aspek gramatik dan sastera Arab. Unutk mendapatkan pengetahuan, tren bayani ini akan mementingkan tiga perkara yang utama:

1. Redaksi lafaz teks dengan menggunakan kaedah bahasa Arab yang baku.

2. Menitikberatkan otoriti transmisi sesuatu teks nas agar lainnya betul dan tidak terkeliru ataupun salah. Hal ini telah menyebabkan timbulnya ilmu riwayah Hadis.

3. Menitikberatkan penggunaan metode Qiyas.[7]

IV. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pendekatan dalam sufisme dan fiqih sangatlah berbeda.

1. Sufisme/tasawuf menggunakan pendekatan yaitu pendekatan pemahaman yang bertumpu kepada pengalaman batiniyyah; Zauq, Qalb, Wijdan, basirah dan intuisi. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui pendekatan ini memang tidak boleh dinafikan sama sekali, namun begitu, penggunaannya secara berlebihan juga akan menimbulkan masalah kepada masyarakat awam yang mungkin tidak memahaminya secara mendalam.

Kemudian dalam fiqih menggunakan pendekatan bayani. Pola ini lebih menumpukan perhatian kepada teks Quran dan sunnah yang dianggap sebagai sumber kebenaran mutlak. Akal dianggap lebih bersifat sekunder di dalam menjelas dan membela teks yang wujud. Kekuatan pendekatan ini lebih memberikan perhatian kepada aspek gramatik dan sastera Arab. Unutk mendapatkan pengetahuan, tren bayani ini akan mementingkan tiga perkara yang utama:

1. Redaksi lafaz teks dengan menggunakan kaedah bahasa Arab yang baku.

2. Menitikberatkan otoriti transmisi sesuatu teks nas agar ianya betul dan tidak terkeliru ataupun salah. Hal ini telah menyebabkan timbulnya ilmu riwayah Hadis.

3. Menitikberatkan penggunaan metode Qiyas

V. Penutup

Demikianlah makalah yang dapat penulis susun, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan penulis untuk memperbaiki makalah ini. Penulis juga minta maaf apabila ada penulisan atau ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1994)

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada, 1999)

Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007

Syukur, MA, Prof. Dr. H.M. Amin, Intelektualisme Tasawuf (Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Semarang: Lembkota, 2002

Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004

Tim Dosen PAI UNY, Din Al-Islam, Yogyakarta: Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Umum Universitas Negeri Yogyakarta, 2002

http://forum.dudung.net/index.php?topic=399.0


[1] http://forum.dudung.net/index.php?topic=399.0

[2] Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA, Intelektualisme Tasawuf (Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Semarang: Lembkota, 2002, hlm. 14-16

[3]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 625.

[4] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada, 1999), hlm. 88.

[5] Tim Dosen PAI UNY, Din Al-Islam, Yogyakarta: Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Umum Universitas Negeri Yogyakarta, 2002, hlm. 52

[6] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007, hlm. 12

[7] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm 188-190.