Rabu, 26 Mei 2010

SUBYEK HUKUM DALAM MUAMALAH (NADZARIYAH AL SYAKHSIYAH)

SUBYEK HUKUM DALAM MUAMALAH

(NADZARIYAH AL SYAKHSIYAH)

I. PENDAHULUAN

Hukum-hukum yang ditetapkan para fuqaha menunjukkan bahwa syakhshiyah seseorang mulai dipandang (di’itbar) oleh syara’ semenjak ‘alaqah berada dalam rahim ibu, dengan syarat ia dilahirkan dalam keadaan hidup. Dan dipandang si janin itu hidup, apabila sebagian besar dari badannya ke luar dalam keadaan hidup, walaupun belum keluar semuanya.

Para Fuqaha menetapkan demikian, adalah syara’ menetapkan pusaka bagi anak yang dalam kandungan (janin). Dan mengharuskan supaya dipisahkan untuk sijanin itu bagian yang paling banyak dari dua bagian apabila muwarisnya meninggal semasih dia dalam kandungan. Hukum-hukum yang ditentukan oleh syara’ ini, mengharuskan kita menetapkan adanya syakhshiyah bagi kandungan, dan berakhirnya syakhshiyah dalam pandangan fiqh ialah meninggal, walaupun meninggal itu langsung sesudah dilahirkan. Dalam pada itu hilangnya syakhshiyah dengan karena meninggal, tidak mengharuskan hilang pengaruh, atau bekasan syakhshiyah, baik mengenai dzimmah, ataupun ahliyah.[1]

II. RUMUSAN MASALAH

a. Pengertian Nadzariyah al syakhsiyah

b. Pengertian Ahliyah, mukallaf, mahkum ‘alaih

c. Mawani’ al ahliyah

III. PEMBAHASAN

a. Pengertian Nadzariyah al syakhsiyah

Nadzariyah Fiqhiyah Al- Syakhshiyah, ialah : Dustur-dustur atau pengertian-pengertian asasi yang masing-masing membentuk suatu nidham hukum. Dustur-dustur ini di dalam fiqh islam berkembang sebagaimana urat berkembang di dalam tubuh manusia. Dan masing-masing unsur itu menguasai hukum-hukum yang bersangkutan dengan obyeknya.

b. Pengertian Ahliyah, mukallaf, mahkum ‘alaih

1. Pengertian Ahliyah

Perkataan “ahliyah” dalam bahasa arab digunakan untuk arti الجدارة والكفا ئة yang terjemahnya yaitu kelayakan dan kepatutan.

Dikalangan para ‘Ulama perkataan “ahliyah” mempunyai pengertian tersendiri, namun tidak menyimpang dari pengertian menurut bahasa. Telah banyak rumusan pengertian ahliyah yang dikemukakan oleh para ‘Ulama, namun isinya antara yang satu dengan yang lain tidaklah berbeda. Diantaranya ialah rumusan pengertian ahliyah yang dikemukakan oleh Musthafa Ahmad Az-Zarqa’ dalam kitabnya “Al Fiqhul Islamy fi tsaubihil jaded”. yakni:

صفة يقد رها الشارع في الشخص تجعله محلا صا لحا لخطاب تشريعى

Artinya: Suatu sifat yang ditetapkan oleh syara’ pada diri seseorang yang menjadikan ia (orang itu) tempat yang pantas bagi berlakunya khitbah (hukum-hukum)

Jadi ahliyah adalah kelayakan atau kecakapan atau kemampuan seseorang untuk memiliki hak-hak yang ditetapkan baginya atau untuk menunaikan kewajiban agar terpenuhi hak-hak orang lain yang dibebankan kepadanya atau untuk dipandang sah oleh Syara’ perbuatan-perbuatannya.[2]

Pembagian Ahliyah

Sesuai dengan pengertian ahliyah di atas, para ulama membagi ahliyah ini menjadi beberapa macam.

Adapun macam-macam ahliyyah tersebut, yaitu:

a. Ahliyah wujuub

yaitu sifat kecakapan berhak, kecakapan seseorang untuk mendukung hak-hak yang diperuntukkan bagi dirinya dan untuk mendukung hak-hak yang dibebankan kepadanya yakni untuk menunaikan kewajiban terpenuhi hak-hak orang lain atas dirinya.

Selanjutnya ahliyatul wujub ini, dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Ahliyyatul Wujubin naaqishah atau kecakapan berhak secara tak sempurna, yaitu kecakapan seseorang hanya untuk mendukung hak-hak yang diperuntukkan bagi dirinya.

2. Ahliyyatul Wujubil kaamilah atau kecakapan berhak secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang di samping untuk mendukung hak-hak yang diperuntukkan bagi dirinya, juga kecakapan untuk mendukung hak-hak yang dibebankan kepadanya yakni untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agar terpenuhi hak-hak orang lain atas dirinya. [3]

Dasar dari adanya ahliyyah wujuub adalah pada diri seseorang adalah sifat kemanusiaannya. Maka adanya ahliyyatul wujuub pada diri seseorang yaitu semenjak ditiupkan roh ke dalam diri seseorang, yakni semenjak berbentuk ‘alaqah dalam kandungan ibunya.

b. Ahliyyatul Ada

yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Menurut kesepakatan ulama Ushul Fiqh, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyah ada’ itu didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa’: 6

(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uŽó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù'uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkô­r'sù öNÍköŽn=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ

Artinya: dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Kalimat “cukup umur” dalam ayat diatas, menurut ulama’ fiqh, antara lain ditunjukkan bahwa seseorang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan telah keluar haid untuk wanita. Orang itulah yang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan larangan syara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat dilaksanakan dengan benar.[4]

2. Mukallaf

Mukallaf ialah orang yang yang dibebani ketentuan ketentuan hukum Syara’, agar seseorang dapat dibebani ketentuan-ketentuan hukum Syara’ (mukallaf), harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Orang tersebut harus dapat memahami dalil-dalil penetapan hukum baik dari Al-Qur’an maupun Hadits. Jika orang itu tidak dapat memahami dalil-dalil tersebut, maka tidak mungkin ia akan dapat menunaikan ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan oleh dalil-dalil itu.

2. Orang tersebut telah berakal sempurna, dengan akal yang sempurna seseorang akan dapat memahami dalil-dalil penetapan hukum.

3. Orang tersebut harus mempunyai ahliyyah (kecakapan), untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang dibebankan kepadanya.[5]

3. Mahkum ‘alaih

Ulama Ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut mukallaf atau mukallaf juga bisa disebut dengan perbuatannya berkaitan (menyangkut) dengan hukum syara’.

Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum), baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya, semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung jawabannya, baik didunia maupun di akhirat.[6]

Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian:

1. Harus sanggup dan dapat memahami khitab atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya tentu tidak semua orang mukallaf yang dapat memahami bahasa arab, tentu dapat di taklif dibebani secara merata, diwajibkan kepada kita menterjemahkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi. Dalil kewajiban itu berdasarkan:

الايبلغ الشاهد منكم الغائب

“Hendaklah menyampaikan orang yang hadir kepada yang tidak hadir”

Dalam masalah ini termasuk kepada orang yang ghaib adalah orang yang tidak mengetahui bahasa arab (Al-Qur’an) dan Hadist atau tidak sanggup memahami dalil-dalil hukum syara’ yang dibebankan kepada orang taklif.

2. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyyah, dengan demikian seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu bertindak hukum, belum atau tidak bisa dipertanggung jawabkan.[7]

c. Mawani’ al ahliyah atau ;Awaridlul Ahliyah

Yang dimaksud dengan ‘awaridlul ahliyah ialah hal-hal yang terdapat atau terjadi pada diri seseorang, sehingga menghalangi kecakapan.

Dalam ahliyah wujub, yang menjadi dasar adalah sifat kemanusiaanya. Jika sifat kemanusiaannya telah tidak ada (meninggal dunia), maka baru ahliyyatul wujub itu hilang dari diri seseorang. Jadi ahliyyatul wujub ini tetap ada pada diri seseorang selagi ia masih bernyawa bahkan mulai semenjak manusia masih dalam kandungan dan tidak dipengaruhi oleh keadaan yang terdapat pada diri seseorang, apakah orang itu dalam keadaan sehat atau sakit.[8]

Lainhalnya dengan ahliyyatul ada’ yang dasarnya adalah kemampuan akal, maka kadang-kadang terhalang oleh hal-hal yang terdapat atau terjadi pada diri orang yang memiliki ahliyah itu. Kemampuan akal seseorang bisa berubah, kurang, bahkan hilang. Akibatnya, mereka dianggap tidak mampu lagi dalam bertindak hukum, berdasarkan inilah ulama ushul fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut:

a. Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia.

b. Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia.

Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan hukumnya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau mengubahnya. Oleh karena itu, mereka membagi halangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objek-objeknya dalam tiga bentuk:

a. Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyah al-‘ada’) hilang sama sekali.

b. Halangan yang dapat mengurangi ahliyah al-ada’ seperti orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapannya dalam bertindak hukum.

c. Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang, seperti orang berhutang, pailit, di bawah pengampunan, dan bodoh, sifat-sifat tersebut sebenarnya tidak mengubah ahliyyah al-ada’ seseorang.[9]

IV. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, Allah SWT mensyari’atkan hukum, baik yang mengatur tentang hak yang harus dimiliki oleh seseorang atau hak yang harus ditunaikannya ataupun mengenai ucapan dan perbuatannya, dengan tujuan untuk kemaslahatan (kebaikan) hidupnya baik secara kelompok maupun secara perorangan, jasmani maupun rokhaninya, di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu dalam penetrapan hukum tersebut, sangat diperhatikan perkembangan dan keadaan manusia baik fisik maupun akalnya, dari semenjak dalam kandungan sampai akhir hayatnya. Dengan lain perkataan, hukum islam dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan hukumnya kepada manusia selalu disesuaikan dengan kemampuan badan dan akalnya.

V. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat penulis susun , tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan penulis untuk memperbaiki makalah ini. Penulis juga minta maaf apabila ada penulisan atau ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua . Amiiiiiiiiin...

DAFTAR PUSTAKA

Depak, “Ilmu FiqhJilid II”, Jakarta, 1984

Dr. Prof. Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul Fiqh”, CV Pustaka Setia. Bandung, 1998

Drs. Nazar Bakry, “Fiqih dan Ushul Fiqh”, PT Grafindo Persada, Jakarta, 1993

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Fiqih Muamalah”, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001

SUBYEK HUKUM DALAM MUAMALAH

(NADZARIYAH AL SYAKHSIYAH)

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata kuliah: Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu: Ibu. Dra. Hj. Nur Huda, M.Ag


Oleh :

Umroh Abdul Wachid

082211028

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2010



[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Fiqih Muamalah”, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, hlm. 195-196

[2] Depak, “Ilmu FiqhJilid II”, Jakarta, 1984, hlm, 9-10

[3]Ibit, 11-12

[4] Prof. DR. Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul Fiqh”, CV Pustaka Setia. Bandung, 1998.hlm. 340

[5]Depak, Op Cit, hlm. 5-7

[6]Prof. DR. Juhaya S. Praja, Op Cit, hlm. 334

[7] Drs. Nazar Bakry, “Fiqih dan Ushul Fiqh”, PT Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 158

[8] Depak, “Ilmu FiqhJilid II, Op cit, hlm. 19

[9] Prof. DR. Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul Fiqh,” Op. Cit, hlm. 343