Kamis, 25 November 2010

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DILUAR NIKAH YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

PENDAHULUAN
BAB I
I. Latar Belakang Masalah
Penganiayaan merupakan salah satu bidang garapan dari hukum pidana. Penganiayaan oleh KUHP secara umum diartikan sebagai tindak pidana terhadap tubuh. Semua tindak pidana yang diatur dalam KUHP ditentukan pula ancaman pidananya. Demikian juga pada delik penganiayaan serta delik pembunuhan. Mengacu pada KUHP buku I bab II tentang pidana, terutama pada pasal 10, di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pidana terdiri dari dua macam, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan untuk delik penganiayaan serta pembunuhan lebih mengarah kepada pidana pokok yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda.
Hukum pidana Islam (jinayah) didasarkan pada perlindungan HAM (Human Right) yang bersifat primer yang meliputi perlindungan atas agama, jiwa, keturunan, akal, harta. Perlindungan terhadap lima hak tersebut oleh asy-Syatibi dinamakan maqasid asy-Sari’ah. Hakikat dari pemberlakuan syari’at (hukum) oleh tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok tersebut dapat diwujudkan dan dipelihara. Islam, seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak untuk hidup, merdeka, dan merasakan keamanan. Ia melarang bunuh diri dan pembunuhan serta penganiayaan. Dalam islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, barang siapa yang memlihara kehidupan seseorang manusia, maka ia diibaratkan memlihara manusia seluruhnya.
Sementara itu penganiayaan terhadap anak diluar nikah adalah perilaku yang bersifat tindak penyaniayaan yang dilakukan orang tua (dewasa) terhadap anak-anak (usia 0-18 tahun, atau sepanjang mereka masih berstatus anak secara hukum). Pada umumnya, masyarakat berpendapat bahwa kehadiran anak dalam keluarga merupakan berkat dan karunia dari Tuhan kepada pasangan suami-istri. Mereka merupakan titipan Tuhan yang Maha Kuasa kepada ayah dan ibunya. Oleh sebab itu, anak wajib dijaga dan dilindungi, karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebaga manusia yang ahrus dijunjung tinggi. Hampir semua anak-anak dilahirkan karena keinginan ayah-ibunya (ini berarti ada anak yang dilahirkan diluar nikah). Walaupun ada penyebutan anak diluar nikah lebih bermakna anak yang dilahirkan sebelum sang ibu menikah.
Ketentuan-ketentuan hukum yang ada, baik hukum pidana islam maupun hukum pidana positif yang telah disebutkan di atas menjadi menarik untuk dibahas ketika keduanya dihadapkan pada suatu kasus yang menuntut adanya penyelesaian, dalam hal ini adalah kasus penganiayaan terhadap anak di luar nikah yang mengakibatkan kematian.
Berdasarkan atas penjelasan-penjelasan tentang penganiayaan terhadap anak diluar nikah yang mengakibatkan kematian menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, maka penulis mengambil judul “PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DILUAR NIKAH YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM”
II. Fokus Penelitian
Agar permasalahan dapat difahami dan tidak terlalu luas, maka peneliti melakukan fokus penelitian masalah sebagai berikut:
a. Penganiayaan terhadap Anak di Luar Nikah
b. Penganiayaan Menurut Hukum Positif
c. Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam
III. Rumusan Masalah
Setelah melihat pemaparan latar belakang masalah di atas dapat dikemukakan pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah perspektif Hukum Pidana Positif tentang Penganiayaan terhadap Anak di luar nikah?
b. Bagaimanakah perspektif Hukum Pidana Islam tentang Penganiayaan terhadap Anak di luar nikah?
IV. Kajian Pustaka
a. Penganiyaan
Menurut Abdul Qadir Audah, Penganiayaan juga bisa di artikan sebagai tindak pidana atas jiwa adalah setiap perbuatan menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan nyawanya.
Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili di dalam buku Hukum Pidana Islam, bahwa tindak pidana atas selain jiwa atau penganiayaan adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu.
b. Anak di Luar Nikah
Anak yang lahir di luar perkawinan Ialah anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak mempunyai suami atau anak yang mempunyai bapak dan ibu yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah. Didalam KUH Perdata Anak di luar nikah anak yang lahir di luar perkawinan dikarenakan perzinahan dan anak sumbang.
Tentang anak diluar kawin itu ada 2 jenis yaitu :
1. Anak yang lahir dari ayah dan ibu antara orang-orang mana tidak terdapat larangan untuk kawin.
2. Anak yang lahir dari ayah dan ibu yang dilarang untuk kawin karena sebab-sebab yang ditentukan oleh undang-undang atau jika salah satu dari ayah ibu di dalam perkawinan dengan orang lain.
c. Kematian
Mati menurut pengertian secara umum adalah keluarnya Ruh dari jasad, kalau menurut ilmu kedokteran orang baru mati jika jantungnya sudah berhenti berdenyut. Mati menurut Al-Qur’an adalah terpisahnya ruh dari jasad dan hidup adalah bertemunya ruh dengan jasad. Kita mengalami saat terpisahnya ruh dari jasad sebanyak dua kali dan mengalami pertemuan ruh dengan jasad sebanyak dua kali. Terpisahnya ruh dari jasad untuk pertama kali adalah saat mati yang pertama, seluruh ruh manusia ketika itu belum memiliki jasad. Allah mengumpulkan mereka dialam ruh.
d. Hukum Pidana Positif
Pengertian hukum pidana positif secara tradisional adalah “Hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan.
Menurut Mezger di dalam buku Hukum Pidana 1: Hukum pidana positif juga bisa didefinisikan sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.
Menurut C. S. T. Kansil di dalam buku Hukum Pidana di Indonesia, hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum.
Pengertian lain adalah, “Hukum pidana adalah peraturan hukum tentang pidana”. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu hal yang dilimpahkan oleh instansi yang berkuasa kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak dilimpahkan sehari-hari. Sedangkan Prof. Dr. Moeljatno, SH menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana bahwa “Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut “.
e. Hukum Pidana Islam
Selanjutnya apabila dikaitkan dengan Hukum Islam sudah jelas bahwa Al-Qur’an juga memerintahkan kepada kita untuk taat dan patuh kepada Pemimpin (pemerintah) dan segala aturan-aturan yang dibuat, selama aturan tersebut tidak berlawanan dengan Al-Qur’an dan Assunnah. Antara pengertian Pidana fositif dengan hukum islam Sebenarnya sama saja, Cuma berbeda Istilah dan dalam hukum Pidana Islam Lebih identik dengan kata Jarimah baik pengertian jarimah menurut bahasa maupun istilah, pengertian jarimah tersebut tidak jauh beda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana, delik) pada Hukum Pidana Fositif.
Para fuqaha sering memakai kata-kata “Jinayah” untuk “Jarimah”. Semula pengertian jinayah adalah hasil perbuatan seseorang yang dilarang oleh syara, baik perbuatan itu mengenai jiwa atau harta benda ataupun lainnya. Kata jinayah juga dipakai dalam Kitab UU Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP RPA) akan tetapi dengan pengertian berbeda yaitu dengan pengertian yang berlaku dikalangan Fuqaha yaitu lebih identik dengan perbuatan mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul, mengguurkan kandungan dan sebagainya.
Jadi pada dasarnya syari’at hukum Islam sama pendiriannya dengan Hukum Positif (hukum Umum) dalam menetapkan perbuatan Jarimah beserta hukum-hukumnya, yaitu memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat, serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya, yaitu bahwa syari’at menganggap ahlak yang tinggi sebagai sandi masyarakat. Oleh karena itu syariat sangat memperhatikan soal ahlak, dimana tiap-tiap perbuatan yang bertentangan dengan ahlak yang tinggi tentu diancam dengan hukuman. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan hukum fositif yang boleh dikatakan telah mengabaikan soal-soal ahlak sama sekali, dan baru mengambil tindakan, apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentuan masyarakat.
V. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan penulis skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui konsekuensi hukum tentang Penganiayaan terhadap anak di luar nikah menurut Hukum Pidana Positif.
b. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana islam tentang penganiayaan terhadap anak di luar nikah.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk perkembangan lebih lanjut, diantaranya untuk:
1. Secara teoritis, penelitian ini harapkan mampu menambah wawasan pengetahuan ke-Islaman khususnya khasanah pengembangan hukum islam, terutama berkaitan dengan pertanggungjawab pidana.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangan khususnya masalah tentang penganiayaan terhadap anak di luar nikah yang mengakibatkan cacat mental.
VI. Metodologi Penelitian
Dalam penyusunan skirpsi ini, penulisan menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan “(library Research) yang datanya diperoleh dari data lapangan. Penelitian yang dilakukan untuk menelaah bahan-bahan dari buku utama yang berkaitan dengan masalah, dan buku penunjang berupa sumber lainnya yang relevan dengan topik yang dikaji. Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif tentang penganiayaan terhadap anak di luar nikah yang mengakibatkan cacat mental.
2. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer yaitu sumber literatur yang utama yang berkaitan langsung dengan obyek penelitian. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diambil dari data-data dalam bentuk dokumen.
b. Data Sekunder
Adapun data sekunder atau data pendukung yaitu buku-buku yang ada relevansinya dengan penelitian dalam menjelaskan tentang pokok permasalahan.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu setiap bahan tertulis yang dijadikan sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahan untuk meramalkan. Dokumentasi yang penulis gunakan adalah buku-buku yang berkaitan dengan topik permasalahan.
4. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil dokumentasi dan lainnya. Untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan.
Teknis analisis data yang penulis gunakan adalah analisis deskriptif analitik yaitu penelitian yang bermaksud untuk membuat deskriptif mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.
Setelah data diperoleh selanjutnya akan dianalisis dengan tehnik Analisis Deskriptif Analitik. Analisis Deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan bagaimana perspektif hukum pidana islam dan pidana positif tentang penganiayaan terhadap anak di luar nikah yang mengakibatkan kematian.
VII. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan hasil penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab, dimana suatu bab dan bab yang lainnya saling mendasari dan terkait. Hal ini guna memudahkan pekerjaan dalam penulisan dan memudahkan pembaca dalam memahami dan menangkap hasil penelitian. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN; bab ini terdiri dari; latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : KAJIAN TEORI; bab ini terdiri dari; (A) Pengertian Penganiayaan, (B) Macam-macam Penganiayaan, (C) Pengertian Anak di Luar Nikah, (E) Pengertian Kematian, (F) Macam-macam Kematian, (E) Pengertian Hukum Pidana Positif, (F) Pengertian Hukum Pidana Islam.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN; yang terdiri dari; jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN; bab ini terdiri dari; Analisis terhadap PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DILUAR NIKAH YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM.
BAB V : PENUTUP; yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran









DAFTAR PUSTAKA
Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Cet. Ke-16 (Jakarta: Bumi Aksara, 1990).
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, cet: ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2003).
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Dar Al-Kitab Al-A’rabi, Beirut, tt.
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
Samidjo, SH., Ringkasan dan Tanya Jawab hukum Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1985).
Prof. Sudarto, S.H., Hukum Pidana1, (Semarang: Yayasan Sudarto, Cet II, 1990).
Pipin Syarifin, S.H, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet II, 2008).
Prof. Moeljatno, SH, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002).
Ahmad Hanafi, “ Asas-Asas Hukum Pidana Islam” Bulan bintang, Jakarta Indonesia 1967.
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Ilmiah), Jakarta: PT. Bina Aksara, 1989.
P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Cet. I.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006, Cet. XI.
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996).
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), Cet. XI

Rabu, 24 November 2010

INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG KESENIAN, PEWAYANGAN

I. Pendahuluan
Kebudayaan yang berkembang di Jawa sangatlah beragam, hal itu tidak lepas dari pengaruh Agama-agama yang masuk ke Indonesia pada abad pertengahan, yaitu Hindu, Budha dan Islam. Jika dilihat dari keberhasilan asimilasi budaya yang terjadi, Islam dipandang jauh lebih sukses berasimilasi dari pada Hindu-Budha yang masuk lebih awal. Hal itu karena cara mereka yang lebih halus dalam menyebarkan agama dan juga sasaran penyebaran yang lebih beragam. Sarana penyebarannya pun mengikuti budaya dan tradisi yang telah berakar pada masyarakat Jawa tanpa harus menghilangkan nilai-nilai keIslamannya yang kental. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam bidang kesenian, kekentalan pengajaran moral Islam yang disisipkan dengan halus dalam tembang macapat, tembang-tembang dolanan dan bahkan dalam kesenian wayang.
Interelasi nilai Jawa dan Islam dalam aspek wayang merupakan salah satu bagian khas dari proses perkembangan budaya di Jawa. Wayang merupakan suatu produk budaya manusia yang didalamnya terkandung seni estetis. Wayang berfungsi sebagai tontonan dan juga sebagai tuntunan kehidupan. Antara wayang dan budaya Jawa ibarat sekeping uang logam yang tak terpisahkan. Hal ini dapat dilihat dari rumah adat Jawa yang terdiri dari emper, pendopo, pringgitan, omah mburi, sentong, longkang dan pawon. Disebut pringgitan karena dipakai sebagai tempat khusus untuk menggelar ringgit atau wayang kulit. Wayang mengandung makna lebih jauh dan mendalam karena mengungkapkan gambaran hidup semesta. Wayang dapat menggambarkan lakon kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya. Dalam dunia tersimpan nilai-nilai pandangan hidup Jawa dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan dalam kesulitan hidup.
II. Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini, pemakalah akan membahas tentang Kesenian tradisi Jawa, Perpaduan seni Islam dan Jawa dan Wayang sebagai puncak Kesenian
III. Pembahasan
A. Kesenian tradisi Jawa.
Secara sempit seni tradisi Jawa berarti karya seni yang diciptakan dan berasal dari pulau Jawa. Beberapa contoh dari seni tradisional Jawa antara lain tari gambyong maupun berbagai jenis wayang. Dan secara kodrati budaya Jawa seperti halnya budaya lainnya, akan selalu mengalami proses perubahan atau perkembangan dalam arti yang luas. Pengembangan nilai budaya Jawa merupakan upaya secara sadar untuk secara terus menerus meningkatkan kualitasnya. Hasil upaya tersebut terletak pada etos masyarakat Jawa itu sendiri, yaitu aspek moral dan estetik budaya Jawa yang pada gilirannya tidak luput dari proses perubahan selagi perubahan budaya Jawa masih mengarah pada peningkatan kearah humanisme yang berarti ada perkembangan. Akan tetapi, jika terjadi sebaliknya justru akan terjadi kemerosotan, degradasi budaya Jawa.
Kehidupan kesenian yang dinamis memerlukan kehadiran seniman yang kreatif, karena seni yang berkualitas, kritikus seni yang berbobot dan masyarakat pendukung yang mau dan mampu mengadaptasi seni secara semestinya. Akan tetapi dalam kehidupan modern sekarang ini, untuk mewujudkan kehidupan seni tradisi Jawa yang dinamis kehadiran keempat unsur tersebut belum cukup tanpa kehadiran seorang patron seni atau maecenas, yaitu pengayom seni yang giat dan kreatif yang bersedia mencurahkan pikiran, tenaga, waktu dan uang untuk mengembangkan seni tradisi Jawa.
Berbeda dengan kehidupan seni tradisi Jawa pada masa lampau yang menjadikan keraton sebagai pusat kekuasaan politik dan kebudayaan. Dengan menempatkan raja sebagai seorang maecenas dan dengan kekuasaan politik, sumber daya manusia yang dimiliknya, serta dukungan dari seluruh masyarakat, raja dapat mengembangkan seni tradisi Jawa sesuai dengan selera yang dikehendakinya. Oleh karena itu, seni tradisi Jawa dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini dapat kita lihat di Istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara IV (1853-1881), dimana pada masa pemerintahan tersebut perkembangan seni tradisi Jawa meliputi sastra, tari, pewayangan dan karawitan mengalami kemajuan yang pesat di Istana Mangkunegaran dibandingkan masa-masa sebelumnya bahkan sesudahnya. Semua itu dapat terwujud karena Mangkunegaran IV sangat memperhatikan dan ikut terlibat langsung dalam pengembangan bentuk-bentuk kesenian itu, baik sebagai pujangga maupun maecenas.
B. Perpaduan Seni Islam dan Jawa.
Arsitektur Islam dan Jawa pada hakikatnya tidak terlepas dari keberadaan kebudayaan dan tradisi yang sudah ada sebelum Islam masuk diwilayah ini. Tidak mengherankan bila dimasa-masa awal masuknya Islam ditanah Jawa, bentuk-bentuk masjid masih menggunakan gaya arsitektur tradisional yang cenderung bernuansa Hinduisme. Tampak seperti pada penggunaan atap tajuk dan pemakaian mustaka pada puncak atapnya. Selain itu, masuknya Islam ke Jawa juga berkaitan dengan kekuasaan raja-raja masa itu sehingga menghasilkan bangunan-bangunan masjid yang cukup megah pada jamannya degan kekhasan tersendiri. Perpaduan itu tampak, misalnya dari bagunan masjid yang ada dalam lingkungan keraton.
Pertimbangan memadukan unsur-unsur lama dan budaya baru dalam arsitektur Islam menunjukkan adanya akulturasi dalam proses perwujudan arsitektur Islam, khususnya di Jawa. Apalagi dalam sejarahnya, pada awal perkembangan agama Islam di Jawa, penyebaran Islam dilakukan dengan proses selektif tanpa kekerasan sehingga nilai-nilai lama masih tetap diterima untuk dikembangkan.
Ajaran Islam yang masuk tanpa kekerasan dan bersifat terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan lain yang telah ada mempengaruhi wujud dalam arsitektur Islam, khususnya arsitektur masjid. Dalam bangunan-bangunan tersebut dipengaruhi oleh faktor sejarah, latar belakang kebudayaan daerah, lingkungan serta adat istiadat masyarakat setempat. Sebagai contoh, dahulu sebelum membangun masjid Demak, Sunan Kalijaga berdiri di tengah lahan tempat masjid akan didirikan sambil merentangkan tangan. Tangan kirinya tertuju kearah bumi dan tangan kanannya kearah kiblat. Hal ini dilakukan dengan maksud, beliau berkeinginan bahwa dalam berarsitektur harus memperhatikan kaidah atau nilai yang sudah ada di masyarakat dan memikirkan kaidah baru yang akan dimasukkan. Karena pada saat itu telah ada kaidah Hindu dan Budha sedangkan kaidah Islam merupakan kaidah baru yang akan dimasukkan, kaidah-kaidah inilah yang dipadukan dengan baik dalam mewujudkan karya seni Islam.
Wujud perpaduan seninya itu menunjukkan akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan Hindu saat itu. Atap bangunannya runcing ke atas dengan tiang-tiang penopang yang besar dan tinggi, motif-motif hias tiang bangunannya tampak berhubungan dengan kebudayaan Majapahit. Sampai sekarang perpaduan budaya masih tetap mewarnai arsitektur Islam di Jawa dan tidak terlepas dari perpaduan budaya setempat dengan budaya lainnya. Hal ini bisa dilihat dari bangunan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) arsitekturnya merupakan paduan antara arsitektur Jawa, Arab dan Yunani. Lalu dekorasi masjid yang didominasi oleh pengaruh budaya Jawa dan Islam. Sebagai contoh adalah kaligrafi yang menjadi elemen penghias masjid yang mencerminkan budaya Islam.
Adanya perpaduan seni Islam dan Jawa menunjukkan bahwa arsitektur Islam yang selama ini dipahami sebagai arsitektur yang dibangun oleh masyarakat muslim telah melahirkan bentuk-bentuk yang memiliki karakternya sendiri sebagai cerminan komunitas muslim. Pada masa awal perkembangan Islam yang cenderung bernuansa teosentrisme sehingga melahirkan arsitektur yang sangat megah berupa masjid, istana, makam atau benteng. Hingga saat ini bangunan berarsitektur Islam dan Jawa yang memiliki ciri khas tersendiri dan berbeda dengan bangunan-banguna sejenis yang ada didaerah atau negara lain.
C. Wayang Sebagai Puncak Kesenian.
Seni yang merupakan hasil budaya manusia tidaklah sekedar bernilai keindahan, tapi juga bermakna simbolis. Hal ini tak hanya berlaku pada masyarakat dengan tingkat budaya rendah, tapi juga pada masyarakat dengan budaya yang sudah maju. Corak seni bermakna simbolis tersebut dapat disaksikan ditengah masyarakat Indonesia yang mempunyai berbagai macam seni daerah, antara lain seni pewayangan. Terdapat bermacam tradisi wayang dalam budaya Jawa, seperti wayang beber, wayang golek, wayang krucil, wayang kulit (purwa), dan sebagainya. Namun diantara kesemua itu, wayang kulitlah yang mempunyai banyak penggemar, juga satu-satunya jenis wayang yang masih eksis hingga sekarang.
Tradisi wayang adalah salah satu komponen kebudayaan Jawa yang paling kompleks dan canggih. Kebanyakan umat Muslim Kejawen menganggap wayang bisa mewujudkan hakikat kebenaran filosofis dan etika. Selain itu, wayang bisa lebih jernih mendefinisikan, dibandingkan hal apapun, apa artinya menjadi orang Jawa. Bagi mereka wayang bukanlah sekedar kesenian yang berfungsi sebagai hiburan dan tontonan saja, tetapi juga mempunyai makna sebagai simbol perilaku kehidupan manusia. Didalamnya terdapat suri tauladan manusia karena terdapat pergumulan antara “benar dan salah” yang diakhiri dengan pihak benar. Lebih jauh lagi wayang juga mengandung arti mengungkapkan gambaran hidup semesta (wewayanganing urip) dan kehidupan manusia berserta segala masalahnya.
Satu personifikasi yang sangat dekat dengan masyarakat Jawa adalah tokoh punakawan yang terdiri atas Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong, para tokoh yang selalu ditunggu dalam setiap pagelaran wayang di Jawa. Meskipun sebenarnya tokoh punakawan tidak terapdat dalam naskah wayang asli dari India, karena setiap tokoh yang sengaja dibuat sedemikian rupa mendekati kondisi beragam masyarakat Jawa oleh para wali dalam penyebaran agama Islam. Wayang adalah media efektif untuk menyampaikan misi ini, namun cerita wayang yang diusung dari negara asalnya berdasarkan teologi Hindu, maka para wali menciptakan suatu tokoh yang lebih fleksibel, yang mampu menghibur rakyat namun tidak menyulitkan dalang karena tidak harus selalu terikat pakem. Dalam setiap lakon, punakawan juga berfungsi sebagai pamong “pengasuh” untuk tokoh wayang lain, selain fungsinya sebagai “abdi”. Pamong disini dapat juga diartikan sebagai pelindung mengingat lemahnya manusia dan tiap manusia hendaklah selalu meminta perlindungan terhadap Allah SWT. Nama para punakawan sendiri, yang tidak dapat ditemukan dalam naskah asli dari India, bukanlah sebutan bahasa Jawa asli kuno atau baru. Nama-nama tersebut berasal dari bahasa Arab yang belum berubah dalam penulisan Jawa dan terdapat makna tersendiri dalam setiap nama, yaitu :
a. Semar, dari bahasa Arab Ismar. Kata Ismar dalam pengucapan lidah Jawa menjadi Semar, dari suku kata is dalam ucapan lidah Jawa biasanya menjadi se, misalnya Istambul menjadi Setambul, Islam menjadi Selam, dan seterusnya. Ismar berarti paku, berfungsi sebagai pengokoh yang goyah, ibarat ajaran Islam yang didakwahkan oleh Walisongo di seluruh kerajaan Majapahit yang pada saat itu sedang bergolak dan diakhiri dengan berdirinya kerajaan Demak oleh Raden Patah.
b. Nala Gareng berasal dari pengucapan lidah Jawa kata Naala Qariin yang berarti memperoleh banyak kawan. Menyiratkan tugas dan kewajiban konsepsional para Walisongo sebagai juru dakwah adalah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya kawan untuk kembali ke Jalan Tuhan dengan kebijaksanaan dan harapan yang baik.
c. Petruk berasal dari pengucapan lidah Jawa kata Fat’ruk yang merupakan pangkal kalimat pendek dari sebuah petuah tasawuf yang berbunyi fat’ruk kullu maa siwallaahi; yang artinya “Tinggalkanlah semua apapun selain Allah”. Petuah tersebut kemudian menjadi watak pribadi para wali dan mubaligh pada waktu itu.
d. Bagong berasal dari pengucapan lidah Jawa kata Baghaa yang berarti memberontak. Memberontak terhadap kebathilan atau kemungkaran. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa Bagong berasal dari bahasa Arab Bagho (Baqa) yang berarti kekal, kekekalan untuk semua mahluk hidup di akhirat kelak. Tokoh punakawan satu ini memiliki sifat kritis yang tak segan mengkritik dan menyindir segala keadaan yang dianggap tidak benar.
IV. Kesimpulan
Kesenian wayang, selain berasal dari kebudayaan asli Jawa, juga berperan penting sebagai media yang digunakan para penyebar agama Islam di Jawa pada masa lalu. Karena ditangan para wali, didalam kesenian wayang dimasukkan nilai-nilai moral dan etika Islam yang kemudian diajarkan secara halus melalui kesenian tersebut. Sehingga masyarakat pada masa itu tidak merasa bahwa mereka sedang diajari, dengan kata lain tidak merasa digurui oleh para wali, terutama masyarakat yang berasal dari status sosial yang tinggi. Berkat bantuan kesenian dalam menyebarkan agama Islam menjadi lebih fleksibel dan lebih mudah dipahami, juga mampu mencakup semua golongan masyarakat yang pada masa Hindu-Buddha tidak tersentuh, sehingga Islam pada masa itu dapat dengan mudah menarik perhatian orang yang mengakibatkan masyarakat berbondong-bondong memeluk Islam.

V. Penutup
Demikian makalah ini kami buat. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi tulisan maupun dari referensi yang diperlukan. Untuk itu kami berharap kritik dan saran yang bisa membangun demi kesempurnaan makalah kami berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin..


DAFTRA PUSTAKA
Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000
M. Hariwijaya, M. Hariwijaya, Islam Kejawen, Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006
Mark R. Woodward, Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta : LKiS, 1999
Ridin Sofwan dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2004
Suwardi Endraswara, Buku Pinter Budaya Jawa Mutiara Adiluhung Orang Jawa, Yogyakarta : Gelombang Pasang, 2005
http://www.republika.co.id/print/36028/2009/09/27/info-arsitektur-perpaduan-seni-Jawa-Islam. 16-Oktober-2009
http://zanikhar.multiply.com/profile
http://id.wikipedia.org/wiki/seni-tradisional.16-Oktober-2009







INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM
DALAM BIDANG KESENIAN PEWAYANGAN
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Islam dan kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : Ibu Naily Anafah












Disusun Oleh:
Hj. Umroh Abdul Wachid
082211028

FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010

Rabu, 26 Mei 2010

SUBYEK HUKUM DALAM MUAMALAH (NADZARIYAH AL SYAKHSIYAH)

SUBYEK HUKUM DALAM MUAMALAH

(NADZARIYAH AL SYAKHSIYAH)

I. PENDAHULUAN

Hukum-hukum yang ditetapkan para fuqaha menunjukkan bahwa syakhshiyah seseorang mulai dipandang (di’itbar) oleh syara’ semenjak ‘alaqah berada dalam rahim ibu, dengan syarat ia dilahirkan dalam keadaan hidup. Dan dipandang si janin itu hidup, apabila sebagian besar dari badannya ke luar dalam keadaan hidup, walaupun belum keluar semuanya.

Para Fuqaha menetapkan demikian, adalah syara’ menetapkan pusaka bagi anak yang dalam kandungan (janin). Dan mengharuskan supaya dipisahkan untuk sijanin itu bagian yang paling banyak dari dua bagian apabila muwarisnya meninggal semasih dia dalam kandungan. Hukum-hukum yang ditentukan oleh syara’ ini, mengharuskan kita menetapkan adanya syakhshiyah bagi kandungan, dan berakhirnya syakhshiyah dalam pandangan fiqh ialah meninggal, walaupun meninggal itu langsung sesudah dilahirkan. Dalam pada itu hilangnya syakhshiyah dengan karena meninggal, tidak mengharuskan hilang pengaruh, atau bekasan syakhshiyah, baik mengenai dzimmah, ataupun ahliyah.[1]

II. RUMUSAN MASALAH

a. Pengertian Nadzariyah al syakhsiyah

b. Pengertian Ahliyah, mukallaf, mahkum ‘alaih

c. Mawani’ al ahliyah

III. PEMBAHASAN

a. Pengertian Nadzariyah al syakhsiyah

Nadzariyah Fiqhiyah Al- Syakhshiyah, ialah : Dustur-dustur atau pengertian-pengertian asasi yang masing-masing membentuk suatu nidham hukum. Dustur-dustur ini di dalam fiqh islam berkembang sebagaimana urat berkembang di dalam tubuh manusia. Dan masing-masing unsur itu menguasai hukum-hukum yang bersangkutan dengan obyeknya.

b. Pengertian Ahliyah, mukallaf, mahkum ‘alaih

1. Pengertian Ahliyah

Perkataan “ahliyah” dalam bahasa arab digunakan untuk arti الجدارة والكفا ئة yang terjemahnya yaitu kelayakan dan kepatutan.

Dikalangan para ‘Ulama perkataan “ahliyah” mempunyai pengertian tersendiri, namun tidak menyimpang dari pengertian menurut bahasa. Telah banyak rumusan pengertian ahliyah yang dikemukakan oleh para ‘Ulama, namun isinya antara yang satu dengan yang lain tidaklah berbeda. Diantaranya ialah rumusan pengertian ahliyah yang dikemukakan oleh Musthafa Ahmad Az-Zarqa’ dalam kitabnya “Al Fiqhul Islamy fi tsaubihil jaded”. yakni:

صفة يقد رها الشارع في الشخص تجعله محلا صا لحا لخطاب تشريعى

Artinya: Suatu sifat yang ditetapkan oleh syara’ pada diri seseorang yang menjadikan ia (orang itu) tempat yang pantas bagi berlakunya khitbah (hukum-hukum)

Jadi ahliyah adalah kelayakan atau kecakapan atau kemampuan seseorang untuk memiliki hak-hak yang ditetapkan baginya atau untuk menunaikan kewajiban agar terpenuhi hak-hak orang lain yang dibebankan kepadanya atau untuk dipandang sah oleh Syara’ perbuatan-perbuatannya.[2]

Pembagian Ahliyah

Sesuai dengan pengertian ahliyah di atas, para ulama membagi ahliyah ini menjadi beberapa macam.

Adapun macam-macam ahliyyah tersebut, yaitu:

a. Ahliyah wujuub

yaitu sifat kecakapan berhak, kecakapan seseorang untuk mendukung hak-hak yang diperuntukkan bagi dirinya dan untuk mendukung hak-hak yang dibebankan kepadanya yakni untuk menunaikan kewajiban terpenuhi hak-hak orang lain atas dirinya.

Selanjutnya ahliyatul wujub ini, dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Ahliyyatul Wujubin naaqishah atau kecakapan berhak secara tak sempurna, yaitu kecakapan seseorang hanya untuk mendukung hak-hak yang diperuntukkan bagi dirinya.

2. Ahliyyatul Wujubil kaamilah atau kecakapan berhak secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang di samping untuk mendukung hak-hak yang diperuntukkan bagi dirinya, juga kecakapan untuk mendukung hak-hak yang dibebankan kepadanya yakni untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agar terpenuhi hak-hak orang lain atas dirinya. [3]

Dasar dari adanya ahliyyah wujuub adalah pada diri seseorang adalah sifat kemanusiaannya. Maka adanya ahliyyatul wujuub pada diri seseorang yaitu semenjak ditiupkan roh ke dalam diri seseorang, yakni semenjak berbentuk ‘alaqah dalam kandungan ibunya.

b. Ahliyyatul Ada

yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Menurut kesepakatan ulama Ushul Fiqh, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyah ada’ itu didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa’: 6

(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uŽó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù'uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkô­r'sù öNÍköŽn=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ

Artinya: dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Kalimat “cukup umur” dalam ayat diatas, menurut ulama’ fiqh, antara lain ditunjukkan bahwa seseorang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan telah keluar haid untuk wanita. Orang itulah yang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan larangan syara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat dilaksanakan dengan benar.[4]

2. Mukallaf

Mukallaf ialah orang yang yang dibebani ketentuan ketentuan hukum Syara’, agar seseorang dapat dibebani ketentuan-ketentuan hukum Syara’ (mukallaf), harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Orang tersebut harus dapat memahami dalil-dalil penetapan hukum baik dari Al-Qur’an maupun Hadits. Jika orang itu tidak dapat memahami dalil-dalil tersebut, maka tidak mungkin ia akan dapat menunaikan ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan oleh dalil-dalil itu.

2. Orang tersebut telah berakal sempurna, dengan akal yang sempurna seseorang akan dapat memahami dalil-dalil penetapan hukum.

3. Orang tersebut harus mempunyai ahliyyah (kecakapan), untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang dibebankan kepadanya.[5]

3. Mahkum ‘alaih

Ulama Ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut mukallaf atau mukallaf juga bisa disebut dengan perbuatannya berkaitan (menyangkut) dengan hukum syara’.

Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum), baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya, semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung jawabannya, baik didunia maupun di akhirat.[6]

Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian:

1. Harus sanggup dan dapat memahami khitab atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya tentu tidak semua orang mukallaf yang dapat memahami bahasa arab, tentu dapat di taklif dibebani secara merata, diwajibkan kepada kita menterjemahkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi. Dalil kewajiban itu berdasarkan:

الايبلغ الشاهد منكم الغائب

“Hendaklah menyampaikan orang yang hadir kepada yang tidak hadir”

Dalam masalah ini termasuk kepada orang yang ghaib adalah orang yang tidak mengetahui bahasa arab (Al-Qur’an) dan Hadist atau tidak sanggup memahami dalil-dalil hukum syara’ yang dibebankan kepada orang taklif.

2. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyyah, dengan demikian seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu bertindak hukum, belum atau tidak bisa dipertanggung jawabkan.[7]

c. Mawani’ al ahliyah atau ;Awaridlul Ahliyah

Yang dimaksud dengan ‘awaridlul ahliyah ialah hal-hal yang terdapat atau terjadi pada diri seseorang, sehingga menghalangi kecakapan.

Dalam ahliyah wujub, yang menjadi dasar adalah sifat kemanusiaanya. Jika sifat kemanusiaannya telah tidak ada (meninggal dunia), maka baru ahliyyatul wujub itu hilang dari diri seseorang. Jadi ahliyyatul wujub ini tetap ada pada diri seseorang selagi ia masih bernyawa bahkan mulai semenjak manusia masih dalam kandungan dan tidak dipengaruhi oleh keadaan yang terdapat pada diri seseorang, apakah orang itu dalam keadaan sehat atau sakit.[8]

Lainhalnya dengan ahliyyatul ada’ yang dasarnya adalah kemampuan akal, maka kadang-kadang terhalang oleh hal-hal yang terdapat atau terjadi pada diri orang yang memiliki ahliyah itu. Kemampuan akal seseorang bisa berubah, kurang, bahkan hilang. Akibatnya, mereka dianggap tidak mampu lagi dalam bertindak hukum, berdasarkan inilah ulama ushul fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut:

a. Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia.

b. Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia.

Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan hukumnya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau mengubahnya. Oleh karena itu, mereka membagi halangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objek-objeknya dalam tiga bentuk:

a. Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyah al-‘ada’) hilang sama sekali.

b. Halangan yang dapat mengurangi ahliyah al-ada’ seperti orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapannya dalam bertindak hukum.

c. Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang, seperti orang berhutang, pailit, di bawah pengampunan, dan bodoh, sifat-sifat tersebut sebenarnya tidak mengubah ahliyyah al-ada’ seseorang.[9]

IV. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, Allah SWT mensyari’atkan hukum, baik yang mengatur tentang hak yang harus dimiliki oleh seseorang atau hak yang harus ditunaikannya ataupun mengenai ucapan dan perbuatannya, dengan tujuan untuk kemaslahatan (kebaikan) hidupnya baik secara kelompok maupun secara perorangan, jasmani maupun rokhaninya, di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu dalam penetrapan hukum tersebut, sangat diperhatikan perkembangan dan keadaan manusia baik fisik maupun akalnya, dari semenjak dalam kandungan sampai akhir hayatnya. Dengan lain perkataan, hukum islam dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan hukumnya kepada manusia selalu disesuaikan dengan kemampuan badan dan akalnya.

V. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat penulis susun , tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan penulis untuk memperbaiki makalah ini. Penulis juga minta maaf apabila ada penulisan atau ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua . Amiiiiiiiiin...

DAFTAR PUSTAKA

Depak, “Ilmu FiqhJilid II”, Jakarta, 1984

Dr. Prof. Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul Fiqh”, CV Pustaka Setia. Bandung, 1998

Drs. Nazar Bakry, “Fiqih dan Ushul Fiqh”, PT Grafindo Persada, Jakarta, 1993

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Fiqih Muamalah”, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001

SUBYEK HUKUM DALAM MUAMALAH

(NADZARIYAH AL SYAKHSIYAH)

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata kuliah: Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu: Ibu. Dra. Hj. Nur Huda, M.Ag


Oleh :

Umroh Abdul Wachid

082211028

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2010



[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Fiqih Muamalah”, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, hlm. 195-196

[2] Depak, “Ilmu FiqhJilid II”, Jakarta, 1984, hlm, 9-10

[3]Ibit, 11-12

[4] Prof. DR. Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul Fiqh”, CV Pustaka Setia. Bandung, 1998.hlm. 340

[5]Depak, Op Cit, hlm. 5-7

[6]Prof. DR. Juhaya S. Praja, Op Cit, hlm. 334

[7] Drs. Nazar Bakry, “Fiqih dan Ushul Fiqh”, PT Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 158

[8] Depak, “Ilmu FiqhJilid II, Op cit, hlm. 19

[9] Prof. DR. Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul Fiqh,” Op. Cit, hlm. 343