Minggu, 10 April 2011

sufisme dan fiqih

I. Pendaahuluan

Fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang bisa menjadi teropong keindahan dan kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari'ah yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lima aksioma, yakni; Agama, akal, jiwa, harta dan keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yang jelas, sehingga layak untuk exis sampai akhir zaman.[1]

Asal mula sufi adalah tradisi awal manusia yang berawal dari fajar itulah jejak sufisme tumbuh dan berkembang, lahirnya sama dengan diciptakannya manusia. Sejak manusia menyadari hubungannya dengan yang Maha mutlak, maka ia mencari kebenaran. Sebelum di utusnya Nabi Muhammad saw, para pendahulu kaum Sufi di sebut sebagai hunafa’ dan mereka sering di sebut-sebut dalam al-Qur’an.

II. Rumusan Masalah

a. Pengertian Sufisme/Tasawuf

b. Pendekatan dalam Sufisme/Tasawuf

c. Pengertian Fiqih

d. Pendekatan dalam Fiqih

III. Pembahasan

A. Pengertian sufisme/tasawuf

Tasawuf adalah mencari yang hakikat, dan putus asa terhadap apa yang ada di tangan makhluk. Barang siapa yang belum bersungguh-sungguh dengan kefakiran, maka berarti belum sungguh-sungguh dalam bertasawuf. Seorang sufi itu tidak terkotori (hatinya) oleh sesuatu, dan segala sesuatu menjadi jernih.

Seorang sufi ialah orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia dan memandang antara emas dan krikil. Dari sisi al-Mujahadah, tasawuf berkisar pada perhiasan diri dengan apa yang baik menurut lingkungan (al-ma’ruf), maupun menurut agama yang bersifat normatif (al-khair). Oleh sebab itu Abu Muhammad al-jariri mengartikan tasawuf dengan “masuk ke dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina”.

Dapat diungkapkan dengan sederhana bahwa tasawuf itu ialah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (Riyadh Mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepadanya. Oleh karena itu, maka al-Suhrawardi mengatakan bahwa semua tindakan (al-akhwal) yang mulia adalah tasawuf.

Maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) diatas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akherat.[2]

B. Pendekatan dalam sufisme/tasawuf

Istilah “pendekatan” secara morfologis berasal dari kata “dekat. Istilah tersebut secara leksikal berarti jarak, hampir, akrab. Secara etimologi berarti proses, perbuatan atau cara mendekati.[3]

Dalam perspektif terminologi, istilah pendekatan berarti paradigma yang terdapat dalam suatu disiplin ilmu tertentu yang selanjutnya dipergunakan untuk memahami suatu masalah tertentu.[4]

Pendekatan Irfani adalah yang biasanya digunakan oleh ahli tasawuf Islam yaitu pendekatan pemahaman yang bertumpu kepada pengalaman batiniyyah: Zauq, Wujdan atau intuisi. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui pendekatan ini memang tidak boleh dinafikan sama sekali, namun begitu, penggunaannya secara berlebihan juga akan menimbulkan masalah kepada masyarakat awam yang mungkin tidak memahaminya secara mendalam. Hal ini memang telah diterapkan sepenuhnya oleh Imam Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumuddin, di mana beliau menggangap bidang fiqih perlu dikaitkan dengan elemen sufisme bagi mendapatkan ruh dan intipati ketakutan kepada hari akhirat kepada pengamal undang-undang Islam khususnya dan masyarakat awam umumnya.

C. Pengertian fiqih

Secara etimologis kata “fiqih” berasal dari kata berbahasa arab: al-fiqh yang berarti pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu. Kata al-fiqh memiliki arti yang sama dengan kata al-fahm, yaitu sama-sama berarti memahami atau mengetahui, adapun secara terminologis fiqih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil terperinci.[5]

Kemudian yang mengaturnya adalah Nabi Saw, dan yang menyusun fiqih seperti susunan yang ada sekarang ini ialah Imam Abu Hanifah. Tempat berlakunya ilmu fiqih ialah pada perbuatan-perbuatan yang mungkin mengakibatkan hukum-hukum yang lima, dan hukum belajar fiqih adalah fardhu a’in (sekedar untuk mengetahui ibadah yang sah apa tidak) selain dari pada itu, hukum belajar fiqih dalah fardhu kifayah.

Tujuannya atau buah dari mengamalkan dan mengetahui ilmu fiqih adalah mendapat keridhoan Allah Saw. yang menjadi jalan kebahagian jalan dunia dan akhirat. Fiqih melebihi segala ilmu seperti sabda Rosulullah Saw:

من يردالله به خيرايفقهه في الدين

Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Nya, dijadikan-Nya orang itu ahli agama. (ahli fiqih).

Fiqih diambil dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dengan ini teranglah salah sangkaan orang yang mengatakan bahwa ilmu fiqih semata-mata pendapat manusia saja, karena sebenarnya fiqih itu diambil dari Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Qiyas pun harus berdasar atas Qur’an dan Hadits, sebagaimana diketahui oleh tiap-tiap orang yang mempelajari ilmu Ushul Fiqih, seperti contoh wudhu itu syarat dari shalat.[6]

D. Pendekatan dalam fiqih

Pendekatan Bayani yang menjadi asas utama kepada pemikiran fiqih Islam. Pola ini lebih menumpukan perhatian kepada teks Quran dan Sunnah yang dianggap sebagai sumber kebenaran mutlak. Akal dianggap lebih bersifat sekunder di dalam menjelas dan membela teks yang wujud. Kekuatan pendekatan ini lebih memberikan perhatian kepada aspek gramatik dan sastera Arab. Unutk mendapatkan pengetahuan, tren bayani ini akan mementingkan tiga perkara yang utama:

1. Redaksi lafaz teks dengan menggunakan kaedah bahasa Arab yang baku.

2. Menitikberatkan otoriti transmisi sesuatu teks nas agar lainnya betul dan tidak terkeliru ataupun salah. Hal ini telah menyebabkan timbulnya ilmu riwayah Hadis.

3. Menitikberatkan penggunaan metode Qiyas.[7]

IV. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pendekatan dalam sufisme dan fiqih sangatlah berbeda.

1. Sufisme/tasawuf menggunakan pendekatan yaitu pendekatan pemahaman yang bertumpu kepada pengalaman batiniyyah; Zauq, Qalb, Wijdan, basirah dan intuisi. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui pendekatan ini memang tidak boleh dinafikan sama sekali, namun begitu, penggunaannya secara berlebihan juga akan menimbulkan masalah kepada masyarakat awam yang mungkin tidak memahaminya secara mendalam.

Kemudian dalam fiqih menggunakan pendekatan bayani. Pola ini lebih menumpukan perhatian kepada teks Quran dan sunnah yang dianggap sebagai sumber kebenaran mutlak. Akal dianggap lebih bersifat sekunder di dalam menjelas dan membela teks yang wujud. Kekuatan pendekatan ini lebih memberikan perhatian kepada aspek gramatik dan sastera Arab. Unutk mendapatkan pengetahuan, tren bayani ini akan mementingkan tiga perkara yang utama:

1. Redaksi lafaz teks dengan menggunakan kaedah bahasa Arab yang baku.

2. Menitikberatkan otoriti transmisi sesuatu teks nas agar ianya betul dan tidak terkeliru ataupun salah. Hal ini telah menyebabkan timbulnya ilmu riwayah Hadis.

3. Menitikberatkan penggunaan metode Qiyas

V. Penutup

Demikianlah makalah yang dapat penulis susun, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan penulis untuk memperbaiki makalah ini. Penulis juga minta maaf apabila ada penulisan atau ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1994)

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada, 1999)

Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007

Syukur, MA, Prof. Dr. H.M. Amin, Intelektualisme Tasawuf (Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Semarang: Lembkota, 2002

Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004

Tim Dosen PAI UNY, Din Al-Islam, Yogyakarta: Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Umum Universitas Negeri Yogyakarta, 2002

http://forum.dudung.net/index.php?topic=399.0


[1] http://forum.dudung.net/index.php?topic=399.0

[2] Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA, Intelektualisme Tasawuf (Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Semarang: Lembkota, 2002, hlm. 14-16

[3]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 625.

[4] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada, 1999), hlm. 88.

[5] Tim Dosen PAI UNY, Din Al-Islam, Yogyakarta: Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Umum Universitas Negeri Yogyakarta, 2002, hlm. 52

[6] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007, hlm. 12

[7] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm 188-190.

Qadzaf

I. PENDAHULUAN

Persoalan menuduh seseorang sebagai pemerkosa atau penzina adalah kesalahan yang serius dalam Islam. Malahan Islam membuat kehormatan pada salah satu dari lima kebutuhan dasar yang mesti dijaga dalam Islam. Manakala sesuatu tuduhan zina pada seseorang tanpa barang bukti adalah salah satu dari tujuh dosa besar. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat an-nur ayat 23;

¨bÎ) tûïÏ%©!$# šcqãBötƒ ÏM»uZ|ÁósãKø9$# ÏM»n=Ïÿ»tóø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# (#qãZÏèä9 Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur öNçlm;ur ë>#xtã ×LìÏàtã ÇËÌÈ

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”.

Berkaitan dengan perbuatan ini, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim juga agar kaum muslimin sangat berhati-hati dalam melemparkan tuduhan keji atau tuduhan zina. Sehingga hukum hududpun seharusnya ditinggalkan tanpa adanya bukti dan saksi yang sahih.

إدرؤ الحدود بالشبهات

Artinya : “Tinggalkan hudud karena perkara-perkara yang syubhat atau yang masih samar-samar”.

II. RUMUSAN MASALAH

a. Pengertian Qadzaf

b. Unsur-unsur Qadzaf

c. Pembuktian untuk Jarimah Qadzaf

d. Hukuman untuk Jarimah Qadzaf

e. Hal-hal menggugurkan Hukuman

III. PEMBAHASAN

A. Pengertian Qadzaf

Qadzaf dalam arti bahsa adalah الر مي بالحجارة ونحوها artinya melempar dengan batu dan lainnya.

Qadzaf dalam istilah syara’ ada dua macam yaitu:

1. Qadzaf yang diancam dengan hukuman had, dan

2. Qadzaf yang diancam hukuaman ta’zir.

Pengertian qadzaf yang diancm dengan hukuman had adalah:

رمي المحصن با لزنا أونفي نسبه

Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang menghilangkan nasabnya.

Sedangkan arti qadzaf yang diancam dengan hukuman ta’zir adalah:

الرمى بغير الزنا أونفي النسب سواء كان من رمى محصنا أوغير محصن

Menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan.

Dari definisi qadzaf ini, Abdur Rahman Al-Jaziri mengatakan sebagai berikut:

القذ ف عبارة أن يتهم شحص أخر بالزنا صريحا أودلا لة

Qadzaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada orang lain dengan tuduhan zian, baik dengan menggunakan lafaz yang sharih (tegas) atau secara dilalah (tidak jelas)

Dasar Hukum larangan qadzaf

Al-qur’an

tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu ) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (Qs. An-Nuur: 4).[1]

B. Usur-unsur Qadzaf

Unsur-unsur qadzaf ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. Adanya tuduhan zina atau menghilangkan nasab

Unsur ini dapat terpenuhi apabila pelaku menuduh korban dengan tuduhan melakukan zina atau tuduhan yang menghilangkan nasabnya, dan ia (pelaku penuduh) tidak mampu membuktikan yang dituduhkannya.

Tuduhan zina kadang-kadang menghilangkan nasab korban dan kadang-kadang tidak. Kata-kata seperti ياابن الزنا “Hai anak zina”, menghilangkan nasab anaknya dan sekaligus menuduh ibunya berbuat zina. Sedangkan kata-kata seperti يازانى “Hai pezina” hanya menuduh zina saja dan tidak menghilangkan nasab atau keturunannya.

2. Orang yang dituduh harus orang muhshan

Dasar hukum tentang syarat ihsan untuk maqzuf (orang yang tertuduh) adalah:

a. Surat An-Nuur ayat 23

¨bÎ) tûïÏ%©!$# šcqãBötƒ ÏM»uZ|ÁósãKø9$# ÏM»n=Ïÿ»tóø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# (#qãZÏèä9 Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur öNçlm;ur ë>#xtã ×LìÏàtã ÇËÌÈ

Artinya: sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik- baik yang lengah, lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. (Qs. An-Nuur: 23)

3. Adanya niat melawan hukum

Unsur melawan hukum dalam jarimah qadzaf dapat terpenuhi apabila seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya, padahal ia tahu bahwa apa yang dituduhkannya tidak benar. Dan seseorang dianggap mengetahui ketidakbenaran tuduhan apabila ia tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhannya.

Ketentuan ini didasarkan kepada ucapan Rasulullah saw. Kepada Hilal ibn Umayyah ketia ia menuduh istrinya berzina dengan Syarik ibn Sahma’:

“Datanglah saksi, apabila tidak bisa mendatangkan saksi maka hukuman had akan dikenakan kepada kamu” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’ la)

Atas dasar inilah jumhur fuqaha berpendapat bahwa apabila saksi dalam jarimah zina kurang dari empat orang maka mereka dikenai hukuman had sebagai penuduh, walaupun menurut sebagian yang lain mereka tidak dikenai hukuman had, selama mereka betul-betul bertindak sebagai saksi.[2]

C. Pembuktian untuk Jarimah Qadzaf

1. Persaksian

Persaksian Jarimah Qadzaf dapat dibuktikan dengan persaksian dan persyaratan persaksian dalam masalah qadzaf sama dengan persyaratan persaksian dalam kasus zina. Bagi orang yang menuduh zina itu dapat mengambil beberapa kemungkinan, yaitu:

a. Memungkiri tuduhan itu dengan mengajukan persaksian cukup satu orang laki-laki atau perempuan.\

b. Membuktikan bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini cukup dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.

c. Membuktikan kebenaran tuduhan secara penuh dengan mangajukan empat orang saksi.

d. Bila yang dituduh itu istrinya dan ia menolak tuduhannya maka suami yang menuduh itu dapat mengajukan sumpah li’an.

2. pengakuan

Pengakuan Yakni si penuduh mengakui bahwa telah malakukan tuduhan zina kepada seseorang. Menurut sebagian ulama, kesaksian terhadap orang yang melakukan zina harus jelas, seperti masuknya ember ke dalam sumur (kadukhulid dalwi ilal bi’ri). Ini menunjukkan bahwa jarimah ini sebagai jarimah yang berat seberat derita yang akan ditimpahkan bagi tertuduh, seandainya tuduhan itu mengandung kebenaran yang martabat dan harga diri seserang. Para hakim dalam hal ini dituntut untuk ekstra hati-hati dalam menanganinya, baik terhadap penuduh maupun tertuduh. Kesalahan berindak dalam menanganinya akan berakibat sesuatu yang tak terbayangkan.

3. Sumpah

Dengan Sumpah Menurut Imam Syafi’i jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang menuduh (pelaku) untuk bersumapah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan untuk bersumpah maka jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keengganannya untuk sumpah tersebut. Demikian pula sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh (korban) bahwa penuduh benar malakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had qadzaf.

Akan tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan pembuktian dengan sumpah, sebagaimana yang di kemukakan oleh madzhab Syafi’i. sebagian ulama Hanafiyah pendapatnya sama dengan madzhab Syafi’i.[3]

D. Hukuman untuk jarimah qadzaf

Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut.

1. Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali, hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditetapkan oleh syara, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafii, orang yang dituduh berhak memberikan pengampunan, karena hak manusia lebih dominan dari pada hak Allah. Sedangkan menurut mazhab Hanafi bahwa korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena di dalam jarimah qadzaf hak Allah lebih dominan dari pada hak manusia.

2. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya

Kedua macam hukuman tersebut didasarkan kepada firman Allah dalam Surah An-Nuur ayat 4:[4]

tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ

E. Hal-hal yang menggugurkan hukuman

Had qadzaf bisa gugur bila si penuduh dapat mendatangkan empat orang saksi, karena dengan adanya para saksi itu berarti alternative negative yang mengharuskan had menjadi lenyap. Jika demikian, maka si tertuduh harus dihadd karena berzina. Demikian juga bila si tertuduh itu mengaku berzina atau mengaku atas kebenaran tuduhan penuduhnya.

Jika seorang istri menuduh zina suaminya, maka ia harus di- had bila syarat-syarat untuk menjatuhkan had itu sudah terpenuhi. Akan tetapi, jika suami menuduh zina kepada istrinya dan ia tidak dapat mendatangkan bukti-bukti, maka ia tidak dapat dijatuhi had, hanya saja ia harus bersumpah li’an, apabila si suami tidak dapat mendatangkan bukti-bukti dan juga tidak mau bersumpah li’an, maka ia pun harus dijatuhi had qadzaf.[5]

IV. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:

Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut.

1. Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali, hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditetapkan oleh syara, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafii, orang yang dituduh berhak memberikan pengampunan, karena hak manusia lebih dominan dari pada hak Allah. Sedangkan menurut mazhab Hanafi bahwa korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena di dalam jarimah qadzaf hak Allah lebih dominan dari pada hak manusia.

2. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya

Sedangkan pembuktiannya untuk jarimah qadzaf adalah dengan saksi, pengakuan, dan sumpah

V. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat penulis susun, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan penulis untuk memperbaiki makalah ini. Penulis juga minta maaf apabila ada penulisan atau ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

Imam Hasan al-Banna, Fiqih Sunnah Jilid 3, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007

http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/qadzaf/



[1] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 60-61

[2] Ibid, hlm. 62-65

[3] http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/qadzaf/

[4] Op. Cit, hlm. 69

[5] Imam Hasan al-Banna, Fiqih Sunnah Jilid 3, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007, hlm.351-352